Minggu, 06 November 2011

Kesetiakawanan Sosial

KESETIAKAWANAN SOSIAL

Menurut Bank Dunia, bila mengikuti standar internasional pendapatan 2 dollar AS per hari, setidaknya 49 persen dari 250 juta penduduk Indonesia kini hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka inilah kelompok yang belum memperoleh hak yang layak akan pangan, sandang, tempat tinggal, lapangan kerja, kesehatan dan pendidikan. Ini baru disorot dari aspek kemiskinan, belum pelanggaran hak asasi ekonomi lainnya. Banyak masyarakat menderita kemiskinan akibat ketidakadilan dan salah urus dari berbagai pihak yang tidak sanggup mengelola ekonomi secara memadai.

           Yang paling bertanggungjawab mengatasi persoalan kemiskinan? Apakah itu hanya tanggungjawab pemerintah dan pengusaha? Atau malah tanggungjawab bersama seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali? Seorang pejabat dari salah satu departemen di negeri ini pernah mengatakan, sebagai wujud kesetiakawanan sosial perlu keterlibatan para pengusaha membantu mengentaskan kemiskinan di sekitar industri dan pabrik. Penanggulangan kemiskinan tidak mungkin hanya dilakukan pemerintah lewat berbagai departemen, tapi juga membutuhkan keterlibatan para pengusaha.

Namun sayangnya, keterlibatan para pengusaha melalui program yang disebut ‘tanggungjawab sosial perusahaan’ (corporate social responsibility/CSR) tidak jarang hanya menjadi ajang cari muka perusahaan. CSR tidak lebih sebagai bentuk tindakan amal, charity, yang tergantung pada niat baik perusahaan semata, yang hanya dilakukan bila perusahaan mendapat keuntungan. 

 Lain lagi adalah, bukan bahwa pengusaha tidak bersedia mengalokasikan dana untuk kaum miskin di sekitarnya, tapi para pengusaha sebelum memulai usahanya sudah mengeluarkan banyak dana untuk memperlancar urusannya terhadap pejabat tertentu. Bukan itu saja, mereka juga harus memikirkan dana untuk setoran secara teratur atau ‘uang keamanan’ demi menjaga kelangsungan usahanya. Akibatnya, perusahaan merugi dan tidak punya dana lagi membantu masyarakat miskin.

Refleksi diri

Kalau demikian halnya, bagaimana harus diwujudkan kesetiakawanan sosial itu? Dalam pengertian sehari-hari orang sering memahami kesetiakawanan dalam bentuk pemberian sesuatu, seperti amal, derma, bantuan, dan program-program hebat. Orang masih jarang memahami kesetiakawanan dalam bentuk permenungan dan refleksi diri, khususnya bagi pemimpin bangsa dan penentu kebijaksanaan politik dalam mengelola bangsa ini.

Karena itu beberapa pertanyaan berikut barangkali menjadi relevan bila dikaitkan dengan praksis kesetiakawanan sosial. Bukankah juga bentuk kesetiakawanan sosial bila pemerintah dan pejabat terkait tidak menuntut dana khusus dari para pengusaha di luar ketentuan yang sudah berlaku, sehingga dana itu bisa sungguh-sungguh dialokasikan bagi pemberdayaan kaum miskin di sekitar pabrik dan industri? Bukankah juga merupakan perwujudan kesetiakawanan sosial bila para pejabat dan pengambil keputusan mengambil keputusan yang sungguh-sungguh berpihak kepada orang kecil dan miskin? Bukankah juga bentuk kesetiakawanan sosial bila mental korup yang sudah parah bisa dihilangkan, atau pikiran yang berencana akan korupsi membatalkan niatnya, sehingga uang dan kas negara bisa lebih efisien dimanfaatkan untuk kepentingan kaum miskin? Bukankah juga merupakan perwujudan kesetiakawanan sosial bila birokrasi pemerintahan juga mereformasi diri dengan mengikis habis praktek korupsi, kolusi dan nepotisme?

Subjek pemberdayaan

Yang sering kita dengar adalah orang miskin menjadi objek semata. Mereka dijadikan objek proyek oleh kelompok tertentu kepada negara donor untuk mendapatkan bantuan, padahal dana itu digunakan bukan untuk kaum miskin, tapi untuk memperkaya diri dan kelompok sendiri. Orang miskin juga dijadikan objek penelitian dan menjadi pihak yang perlu dikasihani dan dilindungi. Mereka menjadi objek yang menerima belas kasih, dan lain sebagainya. Kapankah mereka dijadikan subjek pembangunan? Kapankah orang miskin dijadikan subjek pemberdayaan dan pembelajaran? 

Kenyataannya, banyak hal dapat dipelajari dari orang miskin, khususnya menyangkut kesetiakawanan sosial. Coba kita lihat kesetiakawanan di antara orang yang bekerja di sektor informal, seperti pedagang asongan, pedagang kaki lima, tukang ojek, pemulung, dll. Kendati kemiskinan mendera, mereka dapat saling membantu rekannya yang berkekurangan. Ternyata orang miskin itu memiliki daya tahan hidup yang tinggi. Bukankah justru itu yang perlu dipelajari?

Tugas kita dalam mewujudkan kesetiakawanan sosial ini bukan hanya dalam bentuk memberikan “ikan” dan “kail” kepada orang miskin, tapi yang jauh lebih penting adalah mengakui eksistensi mereka sebagai manusia, yang bukan hanya menjadi korban ‘program pembangunan’, tapi melibatkan mereka dalam kebijakan publik. Memberikan peluang dan kesempatan kepada mereka memanfaatkan kemampuan yang dimilikinya.

Selain itu, hal yang perlu direnungkan adalah apa yang menyebabkan jumlah orang miskin di Indonesia terus meningkat? Tentu saja banyak faktor yang menjadi penyebabnya, termasuk situasi ekonomi dan kebijaksanaan pemerintah yang kurang mengayomi kepentingan rakyat kecil, tapi lebih pada kepentingan kekuasaan. 

Menyatukan persepsi

Masalah kemiskinan terkait dengan ketidakadilan khususnya di bidang ekonomi yang kerap terjadi di tengah masyarakat. Kita sebagai warga dalam masyarakat bangsa perlu menyatukan persepsi dalam membangun kesetiakawanan sosial. Pemerintah sebagai institusi diciptakan untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum.

Tanpa mau memusuhi para pengusaha khususnya perusahaan transnasional (multinational companies/MNCs) sebagai aktor utama globalisasi, nasib bangsa ini tidak bisa diserahkan kepada mereka. Karena kemampuan masyarakat tidak sama untuk bersaing dan karena akses tidak selalu cukup terbuka kepada semua orang, maka bangsa ini tidak bisa diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar dengan segala kecanggihan dan kekejamannya. Maka, ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dan kiranya bisa menjadi bahan permenungan bersama. Pertama, pemerintah sebagai petugas utama menyejahterakan seluruh masyarakat, harus terus menerus memikirkan ulang dan mengambil langkah-langkah yang berpihak kepada rakyat kecil dan miskin, baik dalam hukum perundang-undangan maupun dalam relasi dengan dunia internasional. Kedua, di saat pemerintah dan pengusaha belum secara memadai memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan bersama, semua lapiran masyarakat khususnya kaum miskin dan tertindas mesti menggalang kemampuan, karena merekalah akhirnya yang bertanggungjawab atas kesejahteraan itu.

Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara untuk mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan Undang-      Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Sebagai salah satu sektor dari bidang kesejahteraan rakyat, sektor kesejahteraan sosial menjabarkan amanat UUD 1945 melalui pelayanan sosial yang dilaksanakan dengan usaha kesejahteraan sosial (UKS) yang meliputi penyuluhan dan bimbingan sosial, pembinaan dan rehabilitasi sosial, pemberian bantuan dan santunan, serta pencegahan munculnya permasalahan sosial yang baru dan pengembangan potensi sumber kesejahteraan sosial dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan sosial.

Pertumbuhan ekonomi sebagai hasil pembangunan harus dapat dirasakan masyarakat melalui upaya pemerataan yang nyata dalam bentuk perbaikan pendapatan dan peningkatan daya beli masyarakat. Keberhasilan pembangunan yang dirasakan sebagai perbaikan taraf hidup oleh segenap golongan masyarakat akan meningkatkan kesadaran rakyat tentang makna serta manfaat pembangunan sehingga motivasi rakyat makin tergugah untuk berperan aktif dalam pembangunan.

 Pelayanan sosial kepada masyarakat rentan, sebagai tanggung jawab negara dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial, perlu ditingkatkan sehingga dapat dirasakan makin adil dan makin merata di seluruh tanah air. Peran aktif golongan masyarakat yang mampu dalam penyelenggaraan pelayanan sosial perlu digalakkan dan dibudayakan tidak hanya sebagai perwujudan kesetiakawanan sosial, tetapi juga sebagai upaya memperkecil kesenjangan sosial.
Pembangunan kesejahteraan sosial yang diselenggarakan sebagai usaha bersama harus merata di semua lapisan masyarakat dan di seluruh wilayah tanah air; setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan berperan dan menikmati hasil-hasilnya secara adil sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan dan darma baktinya yang diberikan kepada bangsa dan negara. Pembinaan generasi muda di bidang kesejahteraan sosial dipusatkan pada peningkatan pembinaan karang taruna, sebagai satu-satunya organisasi sosial kepemudaan di tingkat desa. Agar dapat berfungsi sebagai wadah untuk menanggulangi dan mencegah masalah kenakalan remaja serta mampu mengemban tugas mengatasi masalah sosial di lingkungannya, anggota karang taruna dibina agar mampu menciptakan lapangan kerja serta memiliki keterampilan kerja yang andal.


Hasil pembangunan kesejahteraan sosial tercermin, antara lain, dari meningkatnya perkembangan kesadaran, kesetiakawanan            dan tanggung jawab sosial di masyarakat dalam menghadapi masalah sosial pada umumnya dan masalah kesejahteraan sosial khususnya. Perkembangan ini selanjutnya menumbuhkan iklim yang mendorong peran serta masyarakat dalam pelayanan sosial, seperti sebagai pekerja sosial masyarakat, relawan sosial, anggota karang taruna, dan sebagai pendukung dana sosial. Makin meningkatnya mutu dan cakupan pelayanan sosial bagi fakir miskin, anak dan lanjut usia terlantar, penyandang cacat, korban penyalahgunaan obat, zat adiktif dan narkotika, korban bencana, masyarakat terasing dan masyarakat lain yang kurang beruntung telah dapat mengurangi kesenjangan sosial yang ada di masya­-rakat. Di samping itu, makin banyaknya pelayanan sosial yang berkembang di masyarakat telah berhasil pula mengurangi gejolak sosial yang selanjutnya membantu terciptanya stabilitas nasional.

Penyuluhan dan bimbingan sosial yang merupakan kegiatan pokok dalam pelayanan sosial dilaksanakan dengan maksud untuk menciptakan kondisi agar masyarakat makin dapat menerima dan mendukung nilai-nilai pembaruan yang telah diamanatkan.

Untuk meningkatkan pembangunan yang  berfektivitas kegiatan penyuluhan sosial, pekerja sosial masyarakat (PSM) terus dibina dan ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya melalui berbagai pelatihan. Selama dilatih lebih dari 194 ribu orang PSM. Karena PSM ini berasal dari masyarakat dan akan kembali bekerja untuk masyarakat lingkungannya setelah menyelesaikan pelatihan, peningkatkan pelatihan PSM ini merupakan cerminan makin meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menangani permasalahan kesejahteraan sosial.

Pembinaan generasi muda di bidang kesejahteraan sosial dipusatkan pada peningkatan pembinaan karang taruna, sebagai satu-satunya organisasi sosial kepemudaan di tingkat desa. Agar dapat berfungsi sebagai wadah untuk menanggulangi dan mencegah masalah kenakalan remaja serta mampu mengemban tugas mengatasi masalah sosial di lingkungannya, anggota karang taruna dibina agar mampu menciptakan lapangan kerja serta memiliki keterampilan kerja yang andal.

Pada awal pembinaan masyarakat terasing dirintis dengan kegiatan sederhana yang berupa pendekatan dan bimbingan sosial, pembentukan pusat operasi sementara, perintisan perkampungan yang menetap, dan penyediaan sarana sosial. Tujuannya adalah untuk membantu "membuka jalan" bagi masyarakat terasing ke arah cara hidup bermasyarakat yang lebih maju seperti yang telah dinikmati oleh masyarakat di desa-desa sekitarnya. Dengan menunjukkan cara-cara bermasyarakat yang lebih maju tersebut, mereka akan mengenal cara-cara bertani dan berladang tetap dan tidak lagi berpindah-pindah seperti sebelum menerima pembinaan. Selain itu, mereka juga akan mengenal cara-cara memelihara kesehatan dan mengobati penyakit secara benar, perlunya pendidikan anak-anak di sekolah dan sebagainya.


Pembangunan nasional di bidang kesejahteraan rakyat telah berhasil antara lain menurunkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, menurunkan laju pertumbuhan penduduk, meningkatkan usia harapan hidup, menurunkan angka kematian anak balita. Sementara itu, peran serta masyarakat dalam upaya peningkatan kesejahteraan sosial juga makin meningkat. Namun disadari bahwa dalam, masalah yang akan dihadapi masih berat. Untuk itu perlu dikenali berbagai tantangan, kendala, dan peluang yang ada.

Bangsa Indonesia telah berhasil menurunkan jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan secara cepat dalam jangka waktu yang cukup singkat. Bila pada tahun 1970 penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan adalah 70 juta atau 60 persen dari jumlah penduduk, pada tahun 1990 jumlah ini menurun menjadi 27 juta atau 15 persen dari jumlah penduduk. Meskipun demikian, 27 juta penduduk miskin yang masih tersisa ini merupakan jumlah yang cukup besar. Upaya lebih lanjut untuk mengurangi jumlah penduduk miskin akan makin sulit, karena penduduk miskin yang tersisa adalah yang paling rendah kemampuannya untuk dapat menolong dirinya sendiri, makin terpusat di kantung-kantung kemiskinan, dan makin sulit menjangkaunya. Di samping itu, penyebab dari kemiskinan itu sendiri bersifat multidimensional seperti karena kondisi yang bersifat struktural, yang pada dasarnya juga merupakan bagian dari masalah-masalah besar dalam rangka pemerataan pembangunan atau karena kondisi lingkungan fisik seperti keterbatasan potensi-potensi untuk mengembangkan ekonomi. Dengan memperhatikan jumlah penduduk miskin, kesulitan penanganan kemiskinan, dan sebab-sebab terjadinya kemiskinan itu sendiri, maka tantangan yang akan dihadapi adalah meningkatkan harkat dan martabat masyarakat miskin dan membantu mereka mengentaskan diri dari kemiskinan.

        Kemajuan dan penerapan teknologi maju, baik untuk produksi, transportasi dan komunikasi maupun keperluan rumah tangga tidak disangsikan lagi telah membawa kemajuan dan kemudahan-kemudahan hidup bagi anggota masyarakat. Akan tetapi, kemajuan dan penerapan teknologi maju tersebut, juga mempunyai risiko akan timbulnya kecelakaan yang dapat mengakibatkan kecacatan. Kecacatan karena kecelakaan ini akan menambah jumlah penyandang cacat yang saat ini masih cukup banyak, khususnya penyandang cacat yang miskin 2,1 juta jiwa yang belum seluruhnya dapat ditangani dalam tantangan dalam pembangunan kesejahteraan sosial adalah menyelenggarakan penanganan para penyandang cacat agar mereka sebagai sumber daya manusia dapat hidup secara produktif dan mandiri.