Selasa, 03 Januari 2012

KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA DAN AKHLAK BERBANGSA

Pendahuluan

Konsep kehidupan umum masyarakat dunia termasuk didalamnya bangsa Indonesia tidak pernah terlepas dari konsep kehidupan global yang sudah berjalan melalui proses yang sangat panjang. Konsep tersebut menjadi konsep berbangsa, bernegara; seperti Kapitalisme, Liberalisme, Sosialisme, Komunisme, Sekularisme dan konsep berbangsa dan bernegara yang berlandaskan agama berikut turunan-turunannya, Stalinisme, Leninisme, Mao tse Tung, (Islam, Kristen, Hindu, Budha) Liberal, Moderat dan Radikal.

Seluruh Konsep kehidupan dan isme dijadikan sebagai filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk membentuk tatanan kehidupan serta peradaban manusia, yang tidak lain memiliki maksud dan tujuan untuk mewujudkan keselarasan dan kesejahteraan masyarakat dan bangsanya. Eforia isme politik tersebut berkembang di era perebutan kekuasaan pasca perang dunia I dan II melalui proyek-proyek politik propaganda untuk saling memberi pengaruh dari negara-negara yang menang dalam perang tersebut untuk dijadikan konsumsi bagi Negara yang mendapat nasib kalah dalam perang, atau negara-negara yang memang memiliki kondisi sumber daya manusia dan alam sebagai objek perebutan kekuasaan, atau juga memang karena memiliki kelemahan sehingga dari awal menjadi objek jajahan. Di Indoneia sendiri sebagai Negara yang memiliki nasib terjajah karena ekses dari penemuan-penemuan lost land oleh bangsa-bangsa Eropa serta ekses dari perang dunia I dan II, memiliki sejarah kehidupan yang panjang serta berganti haluan politik. Bahkan hampir semua isme dan haluan politik pernah dilalui oleh para pendiri bangsa (founding father). Diyakini semua ini dimaksudkan ingin membangun tatanan kehidupan bangsa yang progresif, maju dan memiliki peradaban bangsa yang lebih baik dan maju pasca penjajahan yang kita alami selama 350 tahun.

Indonesia

Dengan melalui proses panjang dan perjuangan yang tidak sedikit memakan korban, maka para wakil rakyat dan pemimpin bangsa menetapkan bahwa idiologi dan konsep berbangsa dan bernegara Indonesia adalah Pancasila dan UUD 45.
Ironis sekali ditengah perjuangan penataan peradaban bangsa Indonesia, justru bangsa Indonesia terpuruk dan makin terpuruk karena konsistensi bangsa kita akan perwujudan peningkatan kualitas bangsa hancur karena persepsi individual dan kelompok yang terlalu dipaksakan karena memiliki ego politik dan ego kepentingan kelompok yang terlalu dikedepankan. Indonesia hancur berantakan karena kesalahan konsep kehidupan dari level atas, menengah hingga bawah salah berpijak. Sifat-sifat yang pernah menjadi tauladan para pemimpin bangsa dan agama yang selalu merujuk kepada nilai-nilai etika moral dan agama disisihkan bahkan dijadikan sebuah konsumsi insidentil yang bersifat seremonial saja.
Para pemimpin korup, dzalim dan anarkis dalam melaksanakan kepemimpinannya, pengusaha memanfaatkan kebejatan para pemimpin untuk menghisap darah rakyat, dan rakyat dari level atas hingga level grass root asyik mencontoh kedzaliman yang dilakukan para pemimpin, yang pada gilirannya menjadi kejahatan sistemik yang tidak disadari oleh mereka  dan alhasil menjadikan negara yang paling miskin, korup, bodoh dan banyak julukan negatif bagi negara kita.

Pengertian Moral dan Akhlak (etika)

Moral adalah prinsip-prinsip yang berhubungan dengan benar atau salah, pengertian tentang perbedaan antara salah dan benar. Sedangkan akhlak ialah seperangkat tata nilai yang bersifat samawi dan azali, yang mewarnai cara berfikir, bersikap dan bertindak seorang muslim terhadap alam lingkungannya.

Kerukunan Umat Beragama

 Indonesia adalah termasuk negara yang penduduknya majemuk dalam suku, adat, budaya dan agama. Kemajemukan dalam hal agama terjadi karena masuknya agama-agama besar ke Indonesia.
Perkembangan agama-agama tersebut telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beragama, dimana kehidupan keagamaan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Suatu bukti dalam hal ini dapat dilihat dalam kenyataan bahwa sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah, sangat dipengaruhi antara lain oleh motivasi agama. Selain itu inspirasi dan aspirasi keagamaan tercermin dalam rumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Proses penyebaran dan perkembangan agama-agama di Indonesia berlangsung dalam suatu rentangan waktu yang cukup panjang sehingga terjadi pertemuan antara yang satu dengan yang lainnya.  Dalam pertemuan agama-agama tersebut timbullah potensi integrasi dan potensi kompetisi tidak sehat yang dapat mengakibatkan disintegrasi.

Potensi integrasi diartikan sebagai suasana keharmonisan hubungan dalam dinamika pergaulan terutama intern umat beragama dan antar umat beragama. Potensi integrasi tersebut tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagaimana tercermin dalam suasana hidup kekeluargaan, hidup bertetangga baik dan gotong royong. Hal ini dapat dilihat dari hubungan harmonis dalam kehidupan beragama seperti saling hormat menghormati, kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, saling bersikap toleransi, sehingga dalam sejarah bangsa Indonesia tidak pernah terjadi perang antar penganut agama. Hubungan kerjasama antar pemeluk agama terlihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti saling tolong-menolong dalam pembangunan tempat ibadah dan dalam membangun bangsa dan negara. Potensi kompetisi berarti suasana saling persaingan dalam dinamika pergaulan, baik intern umat beragama maupun antar umat beragama. Kompetisi ini dapat berjalan secara baik atau dalam suasana damai, dan dapat pula terjadi dalam berbagai bentuk pertentangan, benturan atau friksi. Dalam sejarah kehidupan keagamaan di Indonesia diakui pernah terjadi ketegangan atau friksi, namun masih dalam batas-batas kewajaran sebagai suatu dinamika dalam hubungan pergaulan atau interaksi antar umat beragama.

Salah satu penyebab terjadinya ketegangan atau konflik dalam kehidupan beragama adalah akibat politik pecah belah (devide et impera) penjajah. Dalam usaha politik tersebut pihak penjajah sering memanfaatkan perbedaan agama atau paham agama untuk menumbuhkan atau mempertajam konflik¬-konflik di kalangan bangsa Indonesia yang sedang berjuang menentang pemerintahan kolonial.
 
Suasana ketegangan dan pertentangan dalam kehidupan beragama yang akarnya telah ditanamkan oleh penjajah terbawa pula ke dalam alam kemerdekaan. Gejala-gejala terjadinya perselisihan antar umat beragama muncul ke permukaan sekitar akhir tahun 1960 an. Di antaranya adalah kasus perusakan tempat-tempat ibadah dan cara-cara penyiaran agama kepada orang yang telah memeluk suatu agama. Kompetisi tidak sehat yang berakibat disintegrasi dan perselisihan cenderung nampak berjalan terus, sekalipun benturan fisik tidak pernah terjadi.

Kata kerukunan dari kata rukun berasal dari bahasa Arab, ruknun (rukun) jamaknya akan berarti asas atau dasar, misalnya rukun Islam, asas Islam atau dasar agama Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti rukun adalah sebagai berikut :

Rukun (n-nomina) : (1) sesuatu yang harus dipenuhi untuk sahnya pekerjaan, seperti : tidak sah sembahyang yang tidak cukup syarat dan rukunnya; (2) asas, berarti : dasar, sendi : semuanya terlaksana dengan baik, tidak menyimpang dari rukunnya; rukun Islam : tiang utama dalam agama Islam, rukun iman : dasar kepercayaan dalam agama Islam:

Rukun (a-ajektiva) berarti (1) baik dan damai.tidak bertentangan : kita hendaknya hidup rukun dengan tetangga; (2) bersatu hati, bersepakat : penduduk kampung itu rukun sekali. Merukunkan berarti : (1) mendamaikan; (2) menjadikan bersatu hati. Kerukunan (1) perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan : kerukunan hidup bersama.

Kata rukun (n) berarti perkumpulan yang berdasar tolong-menolong dan persahabatan; rukun tani : perkumpulan kaum tani; rukun tetangga; perkumpulan antara orang-orang yang bertetangga; rukun warga atau rukun kampung perkumpulan antara kampong-kampung yang berdekatan (bertetangga, dalam suatu kelurahan atau desa).

Jadi Kerukunan Hidup Umat Beragama, berarti perihal hidup rukun yaitu hidup dalam suasana baik dan damai, tidak bertengkar; bersatu hati dan bersepakat antar umat yang berbeda-beda agamanya; atau antara umat dalam satu agama.

Dalam terminologi yang digunakan oleh Pemerintah secara resmi, konsep kerukunan hidup beragama mencakup 3 kerukunan.yaitu : kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat yang berbeda-beda agama, dan kerukunan antara (pemuka) umat beragama dengan Pemerintah. Tiga kerukunan tersebut biasa disebut dengan istilah “Tri Kerukunan “.

Upaya mewujudkan kerukunan hidup beragama tidak terlepas dari faktor penghambat dan penunjang. Faktor penghambat kerukunan hidup beragama selain warisan politik penjajah juga fanatisme dangkal, sikap kurang bersahabat, cara-cara agresif dalam dakwah agama yang ditujukan kepada orang yang telah beragama, pendirian tempat ibadah tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan pengaburan nilai-nilai ajaran agama antara suatu agama dengan agama lain; juga karena munculnya berbagai sekte dan faham keagamaan kurangnya memahami ajaran agama dan peraturan Pemerintah dalam hal kehidupan beragama.

Faktor-faktor pendukung dalam upaya kerukunan hidup beragama antara lain adanya sifat bangsa Indonesia yang religius, adanya nilai-nilai luhur budaya yang telah berakar dalam masyarakat seperti gotong royong, saling hormat menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya, kerjasama di kalangan intern umat beragama, antar umat beragama dan antara umat beragama dengan Pemerintah.
Pada zaman kemerdekaan dan pembangunan sekarang ini, faktor-faktor pendukung adalah adanya konsensus-konsensus nasional yang sangat berfungsi dalam pembinaan kerukunan hidup beragama, yakni Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di bidang atau yang berkaitan dengan kerukunan hidup beragama.

Dari segi Pemerintah, upaya pembinaan kerukunan hidup beragama telah dimulai sejak tahun 1965, dengan ditetapkannya Penpres Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Pe-nyalahgunaan  atau Penodaan Agama yang kemudian dikukuhkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969. Pada zamam pemerintahan Orde Baru, Pemerintah senantiasa memprakarsai berbagai kegiatan guna mengatasi ketegangan dalam kehidupan beragama, agar kerukunan hidup beragama selalu dapat tercipta, demi persatuan dan kesatuan bangsa serta pembangunan. Pada tanggal 30 Nopember  1967 Pemerintah menyelenggarakan suatu Musyawarah Antar Agama di Jakarta, dengan tujuan untuk menyepakati adanya Piagam tentang penyebaran agama serta upaya untuk membentuk Badan Konsultasi Agama. Karena suasana pada waktu itu belum mendukung, maka tujuan Musyawarah ini tidak tercapai. Walaupun tidak menghasilkan sesuatu sebagaimana diharapkan, namun peristiwa itu sendiri merupakan titik awal bagi upaya peningkatan kerukunan hidup beragama yang lebih intensif. Upaya tersebut ditandai dengan munculnya usaha konsolidasi intern dari masing-masing agama yang pada akhirnya mendorong terbentuknya majelis-majelis agama.

Dalam memantapkan kerukunan hidup umat beragama perlu dilakukan suatu upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan hidup umat beragama secara mantap dalam bentuk :

1. Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat beragama dengan pemerintah.
2. Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.
3. Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern dan antar umat beragama.
4. Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip berpolitik dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap keteladanan.
5. Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai Ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nilai-nilai sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan.
6.  Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.
7.  Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan beragama.
 
Dari sisi ini maka kita dapat mengambil hikmahnya bahwa nilai-nilai kemanusiaan itu selalu tidak formal akan mengantarkan nilai pluralitas kearah upaya selektifitas kualitas moral seseorang dalam komunitas masyarakat mulya (Makromah), yakni komunitas warganya memiliki kualitas ketaqwaan dan nilai-nilai solidaritas sosial.
Langkah-Langkah Strategis Dalam Memantapkan Kerukunan Hidup Umat Beragama :

Adapun langkah-langkah yang harus diambil dalam memantapkan kerukunan hidup umat beragama, diarahkan kepada 4 (empat) strategi yang  mendasar  yakni :

A.    Para pembina formal termasuk aparatur pemerintah dan para pembina non formal yakni tokoh agama dan tokoh masyarakat merupakan komponen penting dalam pembinaan kerukunan antar umat beragama.
B.    Masyarakat umat beragama di Indonesia yang sangat heterogen perlu ditingkatkan sikap mental dan pemahaman terhadap ajaran agama serta tingkat kedewasaan berfikir agar tidak menjurus ke sikap primordial.
C. Peraturan pelaksanaan yang mengatur kerukunan hidup umat beragama perlu dijabarkan dan disosialisasikan agar bisa dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat, dengan demikian diharapkan tidak terjadi kesalahpahaman dalam penerapan baik oleh aparat maupun oleh masyarakat, akibat adanya kurang informasi atau saling pengertian diantara sesama umat beragama.
D.   Perlu adanya pemantapan fungsi terhadap wadah-wadah musyawarah antar umat beragama untuk menjembatani kerukunan antar umat beragama.

Dalam upaya memantapkan kerukunan hidup antar umat beragama, hal yang cukup serius kita perhatikan yakni fungsi pemuka agama/tokoh agama/tokoh masyarakat.

Diakui secara jujur bahwa masyarakat kita yang relegius memandang bahwa pemuka agama/tokoh agama/tokoh masyarakat adalah figur yang dapat diteladani dan dapat membimbing, sehingga apa yang diperbuat oleh mereka akan dipercaya dan diikuti secara taat dan loyal.

Kerukunan antar umat beragama dikalangan masyarakat ternyata masih belum sempurna, bahkan dapat kita katakan kerukunan yang semu. Keadaan semacam itu bila dikaji secara mendalam akan berdampak terhadap kerukunan umat beragama. Tokoh agama masih dihinggapi perasaan interest tertentu, misalnya dalam menanggapi kejadian diberbagai wilayah di tanah air Indonesia.

Hal-hal semacam ini berakibat umat beragama menjadi pecah atau terancam kerukunannya, sehingga dalam memahami hal-hal seperti ini peranan agama dan politik perlu ditingkatkan terutama bagi para tokoh agama/tokoh masyarakat.

Demikian pula tokoh-tokoh agama sangat berperan dalam membina umat beragama harus ditingkatkan pengetahuan dan wawasannya dalam pengetahuan agama, sebab yang mempunyai kecenderungan kurang rukun adalah kelompok umat beragama.

Jika pemuka-pemuka agama tidak bisa memahami dan meneladankan atas perbedaan dan persamaan antar agama kepada masyarakat, maka akan timbul kasus-kasus yang mengakibatkan terjadinya kerawanan, antara lain konflik intern umat beragama maupun antar umat beragama serta antar umat beragama dengan pemerintah, yang dimanfaatkan oleh golongan ekstrim dalam bentuk adu domba/memecah belah.

 Strategi Pembinaan Kerukunan Umat Beragama.

Adapun yang menjadi strategi dalam pembinaan kerukunan umat beragama dapat dirumuskan bahwa salah satu pilar utama untuk memperkokoh kerukunan nasional adalah mewujudkan kerukunan antar umat beragama.Dalam tatanan konseptual kita semua mengetahui bahwa agama memiliki nilai-nilai universal yang dapat mengikat dan merekatkan berbagai komunitas sosial walaupun berbeda dalam hal suku bangsa, letak geografis, tradisi dan perbedaan kelas sosial.

Hanya saja dalam implementasi, nilai-nilai agama yang merekatkan berbagai komunitas sosial tersebut sering mendapat benturan, terutama karena adanya perbedaan kepentingan yang bersifat sosial ekonomi maupun politik antar kelompok sosial satu dengan yang lain. Dengan pandangan ini, yang ingin kami sampaikan adalah bahwa kerukunan umat beragama memiliki hubungan yang sangat erat dengan faktor ekonomi dan politik, disamping faktor-faktor lain seperti penegakan hukum, pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat dan peletakan sesuatu pada proporsinya.

Dalam kaitan ini strategi yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut :

1.     Memberdayakan institusi keagamaan, artinya lembaga-lembaga keagamaan kita daya gunakan secara maksimal sehingga akan mempercepat proses penyelesaian konflik antar umat beragama. Disamping itu pemberdayaan tersebut dimaksudkan untuk lebih memberikan bobot/warna tersendiri dalam menciptakan Ukhuwah (persatuan dan kesatuan) yang hakiki tentang tugas dan fungsi masing-masing lembaga keagamaan dalam masyarakat sebagai perekat kerukunan antar umat beragama.
2.       Membimbing umat beragama agar makin meningkat keimanan dan ketakwaan mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam suasana rukun baik intern maupun antar umat beragama.
3.       Melayani dan menyediakan kemudahan beribadah bagi para penganut agama.
4.       Tidak mencampuri urusan akidah dan ibadah sesuatu agama.
5.       Mendorong peningkatan pengamalan dan penunaian ajaran agama.
6.       Melindungi agama dari penyalah gunaan dan penodaan.
7.      Mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai Pancasila dan konstitusi dalam tertib hukum bersama.
8.      Mendorong, memfasilitasi dan mengembangkan terciptanya dialog dan kerjasama antara pimpinan majelis-majelis dan organisasi-organisasi keagamaan dalam rangka untuk membangun toleransi dan kerukunan antar umat beragama.
9.      Mengembangkan wawasan multi kultural bagi segenap lapisan dan unsur masyarakat melalui jalur pendidikan, penyuluhan dan riset aksi.
10.   Meningkatkan pemberdayaan sumber daya manusia (pemimpin agama dan pemimpin masyarakat lokal) untuk ketahanan dan kerukunan masyarakat bawah.
11.   Fungsionalisasi pranata lokal. Seperti adat istiadat, tradisi dan norma-norma sosial yang mendukung upaya kerukunan umat beragama.
12.   Mengundang partisipasi semua kelompok dan lapisan masyarakat agama sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing melalui kegiatan-kegiatan dialog, musyawarah, tatap muka, kerja sama sosial dan sebagainya.
13. Bersama-sama para pimpinan majelis-majelis agama, melakukan kunjungan bersama-sama ke berbagai daerah dalam rangka berdialog dengan umat di lapisan bawah dan memberikan pengertian tentang pentingnya membina dan mengembangkan kerukunan umat beragama.
 
14.  Melakukan mediasi bagi kelompok-kelompok masyarakat yang dilanda konflik dalam rangka untuk mencari  solusi bagi tercapainya rekonsiliasi sehingga konflik bisa dihentikan dan tidak berulang di masa depan.
15. Memberi sumbangan dana (sesuai dengan kemampuan) kepada kelompok-kelompok masyarakat yang terpaksa mengungsi dari daerah asal mereka karena dilanda konflik sosial dan etnis yang dirasakan pula bernuansakan keagamaan.
16. Membangun kembali sarana-sarana ibadah (Gereja dan Mesjid) yang rusak di daerah-daerah yang masyarakatnya terlibat konflik, sehingga mereka dapat memfungsikan kembali rumah-rumah ibadah tersebut.